Nailah binti Al-Farasishah dikenal sebagai perempuan yang cantik, cerdas, dan pintar syair. Namun dibalik kelemahlembutannya, Nailah ternyata sosok yang pemberani. Istri Khalifah Utsman bin Affan ini siap menghadapi berbagai musuh demi keselamatan suaminya. Keberanian Nailah dibuktikan ketika terjadi pengepungan, serta penyerangan besar-besaran di kediaman Utsman di Madinah.
Selama 50 hari rumah Khalifah Utsman dikepung para pemberontak. Ketika terjadi fitnah (35 Hijriyah) yang memecah belah umat Islam. Para pemberontak tiada henti melempari bebatuan dan panah. Tiga orang dinyatakan tewas. Padahal sebelumnya, Abdullah telah mengadakan perjanjian tertulis agar tidak pernah mengganggu dan menyerang Khalifah. Rupanya dua pemberontak tidak puas dan melanggar perjanjian itu. Pembangkangan dipimpin oleh Muhammad bin Abu Bakar.
Ketika terjadi penyerangan, Nailah dengan setia mendampingi suaminya. Saat Muhammad bin Abu Bakar bersama temannya nekat memasuki rumah Utsman, melepaskan tali pagar, lalu memanjat dengan tali. Nailah tidak tinggal diam. Dia melihat keluar apa yang dilakukan musuh-musuh suaminya tanpa mengenakan kerudung.
Khalifah menegur istrinya, "Nailah tutuplah rambutmu dengan kain kerudung. Sesungguhnya rambutmu lebih besar nilainya padaku daripada nyawaku!"
Nailah tidak sempat lagi mendengar apa yang disampaikan suaminya. Baginya yang terpenting bisa melindungi Utsman dari musuh. Kedua pemberontak berhasil masuk ke dalam rumah dan berada di hadapannya. Lelaki pertama mengayunkan pedang ke arah ke Khalifah. Nailah dengan sigap menangkis pedang tersebut hingga melukai jari-jarinya. Istri Utsman itu sempat menjerit menahan kesakitan. Dia memanggil ajudan Utsman, lalu membunuh si pemberontak tersebut.
Giliran Muhammad bin Abu Bakar yang maju dengan pedang berhunus. Nailah kembali membela suaminya. Ayunan pedang ditahan sehingga mengiris jari-jari tangannya yang lain. Kali ini hadangan Nailah gagal. Muhammad bin Abu Bakar mencabut janggut Khalifah, memukul kepala, dan menikamnya.
Utsman syahid, karena sabetan pedang pemberontak. Air mata Nailah tumpah saat memangku jenazah sang suami. Nailah berkata, "Sungguh kalian telah membunuhnya, padahal ia telah menghidupkan malam dengan Alquran dalam rangkaian rakaat."
Setelah peristiwa berdarah itu, tidak ada yang berani mendekati kediaman Khalifah Utsman bin Affan. Sedangkan jenazah Khalifah harus dimandikan, dishalatkan, dan dimakamkan. Nailah mengirim utusan kepada Jubair bin Hizam dan Huwaitib bin Abd Uzza untuk mengurus jenazah. Namun, mereka tidak berani memakamkan di siang hari. Pemakamanan khalifah setelah Umar bin Khathab ini dilakukan antara Maghrib dan Isya. Nailah mendahului sambil membawa lampu kecil untuk penerangan. Kesyahidan Khalifah Utsman tersebar luas. Peristiwa ini menimbulkan perselisihan antara Sayyidina Ali dan Muawiyah yang telah mengorbankan banyak nyawa umat Islam.
Nailah berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Dia tidak berdandan, berhias, dan enggan meninggalkan kediaman suaminya. Ia memandang kesetiaan terhadap suami—walaupun sudah tiada—lebih besar dibandingkan bersama orang tua dan saudara perempuannya.
Setelah kematian suaminya, Nailah mengirim surat kepada Muawiyah. Isinya, "Jika dua golongan dari kaum itu berperang, hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Dan jika yang satu dari keduanya melanggar perjanjian kepada yang lain. Maka perangilah yang melanggar perjanjian itu sehingga mereka kembali kepada Allah."
Walaupun masa berkabung sudah berakhir, kesedihan tetap menyelubungi Nailah. Pinangan Muawiyah pun tidak pernah disambutnya. Sebagai penolakan, dia mematahkan gigi-giginya.
Aksi ini mengundang pertanyaan, "Mengapa kamu mematahkan gigimu yang indah?"
Nailah menjawab, "Aku tidak mau kesedihanku pada Utsman menjadi pudar sebagaimana pudarnya kain-kain buruk. Dan aku tidak mau lelaki lain mengetahui apa yang ada pada diriku, sebagaimana diketahui oleh Utsman."
Pengorbanan ini sebagai bukti bahwa Nailah sosok yang setiap dan rela berkorban apa saja untuk perjuangan suaminya. Semasa hidupnya Nailah dikenal sebagai sastrawan dan penyair yang banyak mengubah sajak dan syair yang diabadikan untuk suaminya tercinta.
Siapa sebenarnya Nailah?
Dia bukan berasal dari golongan Quraisy. Ayahnya penganut Nasrani, namun sebagai muslimah dia sangat taat beribadah. Utsman bin Affan mengakui dan mengagumi kecantikan dan kecerdasan Nailah. Diriwayatkan, Utsman pernah memuji, "Aku tidak menemui seorang perempuan yang lebih sempurna akalnya dari dirinya. Aku tidak segan apabila ia mengalahkan akalku."
Khalifah Utsman menikah dengan Nailah di Madinah Al-Munawwarah. Ketika menikah, jarak usia mereka sangat berjauhan. Utsman bin Affan berusia 81 tahun, sedangkan Nailah jauh lebih muda, usia 18 tahun.
Utsman sempat menanyakan perbedaan jarak yang jauh ini, "Apakah engkau tidak keberatan menikah dengan seorang lelaki tua bangka?"
Nailah tersenyum sambil tertunduk malu menjawab, "Saya termasuk perempuan yang lebih suka memiliki suami yang lebih tua."
"Tapi aku telah jauh melampaui ketuaanku," kata Utsman.
Nailah dengan tersenyum berkata, "Tapi masa mudamu sudah kau habiskan bersama Rasulullah SAW. Dan itu jauh aku lebih sukai dari segala-galanya."
Mereka dikarunia seorang anak yang diberi nama Maryam binti Utsman. Diriwayatkan, karena kecintaan kepada istri terakhirnya ini, Utsman sering memberi berbagai hadiah. Nailah dikenal sebagai shahabiyyah yang cantik, setia, cerdas, dan pemberani yang membela suaminya.
* Dipublikasikan untuk Dunia Aksara oleh Team Editor
- Dee -