- Surat kepada Sahabat -
Pada saatnya kita akan tua. Anak-anak yang dulu kerap memanggil kita
dan tak segera kita tanggapi, boleh jadi kini telah bertebaran di
berbagai penjuru bumi. Kita memanggil-manggil mereka, sebagaimana dulu
mereka memanggil kita. Bersyukurlah jika mereka masih amat berhasrat
memenuhi panggilan kita, meski tak selalu mampu memenuhi panggilan itu
karena jauhnya jarak dan terbatasnya kesempatan. Semoga anak-anak kita
bukanlah termasuk mereka yang telah kehilangan rasa rindu kepada
orangtua. Mereka tak bisa merasa dekat, bahkan saat berdekatan dengan
kita. Mereka tak mampu merasakan kehangatan, meski kita sedang
memberikan senyum terbaik kita untuknya. Persoalannya, apakah yang telah
kita semai di hati mereka? Benih-benih rasa rindu yang secara alamiah
tumbuh dalam diri mereka, adakah kita pupuk dengan memberi perhatian,
ketulusan dan kehangatan kita?
Pada saatnya kita akan tua,
lemah dan renta. Kemeja yang dulu rasanya tak lengkap tanpa jas dan dasi
–meski kita tinggal di negeri beriklim tropis—kini tak lagi menarik.
Perempuan yang dulu membiarkan dadanya terbuka dan berkata jilbab hanya
sesuai untuk negeri di Timur Tengah, kini bahkan tak bisa lepas dari
syal dan kain yang melilit badan. Mereka tak lagi peduli dengan
penampilan karena masalah kesehatan jauh lebih menyibukkan. Di saat itu,
apakah yang dapat kita harapkan dari masa muda kita untuk pulang ke
kampung akhirat?
Pada saatnya kita akan memasuki penghujung
usia kita, tua dan renta. Ataukah kita tak sempat merasai masa yang
disebut lansia? Betapa banyak yang berpanjang angan-angan tentang masa
50 tahun yang akan datang, tapi ia sendiri tak sempat merasai umur
panjang. Betapa banyak yang tak peduli darimana ia dapatkan hartanya;
adakah dari jalan yang halal ataukah ada syubhat dan bahkan haram yang
nyata di dalamnya. Mereka menumpuk harta dengan menjual agama (bila
perlu), tapi yang menikmati adalah ahli warisnya. Sementara ia harus
menghadap-Nya dengan setumpuk dosa yang tak tertanggungkan. Adakah itu
kita?
Pada saatnya kita beranjak tua. Putih rambut kita, putih
pula mata kita sehingga tak mampu melihat sekeliling dengan jelas. Kita
merasakan kesedihan yang teramat sangat. Padahal telah lama kita
membiarkan diri rabun terhadap kebenaran. Kita abaikan diri kita sendiri
dari mengingat-Nya bersebab dunia yang amat memenuhi rongga dada kita.
Bersujud kita berlama-lama, tapi bukan untuk mengagungkan-Nya, melainkan
karena amat merindui dunia. Dan di saat renta, ingin sekali kita
berlama-lama sujud untuk memohon agar badan bugar kembali. Ataukah kita
bahkan tak mengingat-Nya sama sekali? Na’udzubillahi min dzaalik. Maka
beruntunglah mereka yang mengingat-Nya di usia senja; mengingat yang
penuh sesal. Semoga Allah Ta’ala berkenan memberi karunia berubah akhir
hayat yang baik (husnul khatimah). Dan celakalah orang yang sampai
penghujung usianya, tidaklah ia beribah kecuali hanya untuk mengharap
dunia.
Pada saatnya kita akan mengatupkan mata untuk
selama-lamanya, lalu hidup di alam yang berbeda. Adakah ketika itu kita
menginsyafi salah dan dosa kita? Adakah kita sempat bertaubat
kepada-Nya? Ataukah kita yang dimaksud dalam QS. At-Takaatsur, yakni
orang yang tidak berhenti merindui dunia dan mencurahkan passionnya
secara total untuk kesenangan dunia. Tak ada yang sanggup
menghentikannya kecuali kematian. Mereka inilah yang tempat kembalinya
adalah neraka jahim. Na’udzubillahi min dzaalik.
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam
kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu
itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah
begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu
benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu
benar-benar akan melihatnya dengan `ainulyaqin, kemudian kamu pasti akan
ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di
dunia itu).” QS. At-Takaatsur, 102: 1-8
by : Ustadz Fauzil Adhim
salah satu dosen pengajar saat masih menimba ilmu di Jogja
- Dee -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar