Makanan dan minuman boleh instant. Tanpa bersusah meracik, setiap
orang bisa membuat mie dengan rasa yang sama. Tak ada bedanya kopi
bikinan anak kecil dengan hasil seduhan orang dewasa. Sebabnya, mereka
sama-sama pakai kopi instant. Tanpa perlu memahami karakter kopi, setiap
orang bisa menghidangkan kopi dengan rasa yang cukup enak di lidah
karena bahannya instant. Tetapi, samakah kopi instant dengan kopi yang
diracik secara khusus oleh koki berpengalaman? Sangat berbeda.
Sebagaimana berbeda sekali nilai dan harga sebuah jam tangan yang dibuat
oleh tangan seorang ahli yang terampil dan berpengalaman dengan arloji
pabrikan yang dalam waktu sehari bisa memproduksi ratusan dan bahkan
ribuan keping.
Tak ada kecerdasan instant. Apalagi kedewasaan. Kita mungkin bisa
menjadikan seorang anak tiba-tiba tampak hebat karena mampu menggambar,
menulis atau membaca dengan mata tertutup. Tetapi sangat berbeda
kemampuan menebak, menginderai dan mengenal dengan kemampuan mencerna,
memahami, memikirkan dan mengembangkan sebuah konsep. Hari ini, banyak
orangtua yang bersibuk-sibuk menjadikan anaknya tampak hebat, tetapi
lupa membangun pilar kehebatan itu sendiri.
Sesungguhnya, taraf kemampuan kognitif anak bertingkat-tingkat secara
hierarkis. Dan pendidikan berkewajiban mengantarkan setiap anak agar
mampu mencapai taraf kognitif yang setinggi-tingginya. Taraf paling
rendah adalah pengetahuan. Ini merupakan kemampaun untuk mengetahui,
mengenal dan mengingat apa-apa yang sudah ia pelajari. Ia bisa mengulang
kembali dan menyampaikan kepada orang lain. Di negeri ini, pelajaran di
kelas dan ujian di sekolah kerapkali hanya menakar kemampuan kognitif
terendah, yakni pengetahuan.
Berbagai teknik atau trik yang banyak diperkenalkan (lebih jelasnya: dijual)
kepada masyarakat umumnya sebatas membantu anak mencapai kemampuan
kognitif terendah. Bukan mengembangkan kemampuan berpikir. Lebih-lebih
cara berpikir, umumnya hampir tak tersentuh. Tetapi inilah yang paling
mudah kita lihat: atraksi kebolehan dan demonstrasi yang menunjukkan
perubahan cepat luar biasa. Karena terpukau, kita kemudian kehilangan
daya berpikir kritis tatkala para trainer itu mengatakan bahwa trik-trik
tersebut membangun karakter anak! Padahal yang dimaksud bukan karakter.
Yang dimaksud hanyalah sebatas kemampuan kognitif. Paling jauh
keterampilan sosial yang bernama sopan santun.
Sungguh, sopan santun sangat berbeda dengan karakter. Sebagai
keterampilan, sopan santun merupakan bagian dari kecakapan sosial.
Sementara karakter lebih banyak berkait dengan kualitas personal pada
diri seseorang. Karakter bermula dari kesadaran terhadap nilai-nilai
(bukan sekedar tahu atau bahkan paham), partisipasi atau kesediaan untuk
menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari,
penghayatan nilai, pengorganisasian nilai dan barulah kemudian sampai
pada tingkat karakterisasi diri. Yang dimaksud dengan penghayatan nilai
adalah kemampuan untuk menerima nilai dan terikat kepadanya. Sedangkan
pengorganisasian nilai merupakan kemampuan untuk memiliki sistem nilai
dalam dirinya. Sampai pada tingkat ini, karakter masih belum terbentuk.
Karakterisasi baru terjadi apabila seseorang telah mampu memilih nilai
sebagai gaya hidup (life style) dimana sistem nilai yang terbentuk mampu mengawasi tingkah lakunya.
Jadi, ada proses panjang sebelum terbentuk dalam diri seseorang. Ia
bukan sekedar keterampilan. Ia merupakan perwujudan nilai-nilai yang
mempengaruhi pikiran, cara pandang, penghayatan dan gaya hidup kita. Ia
menjadi penakar dalam menentukan sebuah tindakan terkait dengan patut
atau tidak, mulia atau hina. Ia berangkat dari kesadaran. Bukan
pengetahuan. Kesadaran merupakan tingkat terendah dari kemampuan
afektif. Sedangkan tingkat terendah kemampuan kognitif adalah
pengetahuan (knowledge). Ini berarti, sekedar pintar tak berpengaruh pada karakter.
Setingkat di atas pengetahuan adalah pemahaman (understanding).
Pada tingkat ini –tingkat terendah kedua dalam kemampuan kognitif—anak
mengerti dengan baik apa yang dipelajari. Kemampuan ini bukan semata
karena anak belajar, tetapi karena pendidik memang memahamkan. Bukan
sekedar menyampaikan sejelas-jelasnya sehingga anak mengingat dengan
baik dan mampu menyampaikan kembali secara gamblang. Pendidik perlu
secara serius merangsang kemampuan berpikir anak sehingga mereka
memahami dengan baik apa yang diterangkan.
Yang perlu kita catat, pemahaman tidak berpengaruh terhadap perilaku.
Pemahaman baru akan bermanfaat menuntun dan mengarahkan perilaku
anak-anak kita jika mereka telah menghayati nilai-nilai agama ini dengan
baik. Sangat berbeda, menghayati dengan memahami.
Itu pula yang menerangkan mengapa anak yang telah memahami
baik-buruknya sesuatu, tidak berubah perilakunya. Kecerdasan
mempengaruhi kemampuan mengingat, mencerna dan memahami sesuatu.
Sedangkan keyakinan mendorong orang untuk menggunakan seluruh
kemampuannya agar bisa melakukan apa yang telah menjadi keyakinannya,
meskipun bertentangan dengan pemahamannya.
Kembali pada jenjang-jenjang kemampuan kognitif. Setingkat di atas
pemahaman adalah penerapan (aplikasi), yakni kemampuan menggunakan
hal-hal yang telah dipelajari untuk menghadapi situasi-situasi baru dan
nyata. Ini bukan berurusan dengan keyakinan. Ini erat kaitannya dengan
kecakapan untuk menerapkan apa yang telah ia ketahui. Shalat misalnya.
Anak bisa melakukan shalat dengan sangat baik bukan karena yakin dan
suka, tetapi karena ia memahami betul tata-cara shalat yang baik.
Jenjang kemampuan berikutnya adalah analisis. Berbekal pemahaman yang
baik dan mendalam atas berbagai pengetahuan yang telah ia dapatkan
sekaligus (pernah) ia praktikkan, seseorang bisa mencapai kemampuan
analisis. Ia mampu menjabarkan sesuatu menjadi bagian-bagian sehingga
struktur organisasinya dapat dipahami. Jika kemampuan ini berkembang
lebih lanjut, ia akan sampai pada taraf kognitif yang lebih tinggi,
yakni sintesis. Ini merupakan kemampuan memadukan bagian-bagian menjadi
keseluruhan yang berarti. Ia mampu menemukan benang merah berbagai
pengetahuan yang berserak menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermakna.
Tingkat tertinggi kemampuan kognitif adalah penilaian. Bukan menilai
orang dari apa yang tampak, melainkan kemampuan memberikan penilaian
terhadap sesuatu berdasarkan yang ditetapkan terlebih dahulu, baik
bersifat internal maupun eksternal. Di tingkat inilah seseorang mencapai
tingkat pemahaman yang mendalam. Kemampuan ini barangkali lebih dekat
dengan makna faqih. Bukan sekedar faham. Dan amat sedikit orang yang
mencapai kemampuan ini. Lebih-lebih sekolah –begitu pula orangtua—lebih
banyak menyibukkan diri untuk memacu kemampuan kognitif terendah, yakni
pengetahuan atau paling jauh pemahaman. Kita sudah cukup bangga jika
anak mengingat dengan baik, mampu menirukan secara sempurna dan
menerangkan secara gamblang pelajaran yang telah mereka terima. Kita
telah menganggap jenius anak-anak yang hanya menggunakan kemampuan
kognitif terendah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis : M. Fauzil Adhim
Note : Penulis adalah salah satu dosen favorit saat masih kuliah di UII Jogja